04 October 2016

Menikah? Let's Go!

(dok. pribadi)

Jeeeengg.... Jeeennggg....

Foto di atas itu terlihat mesra sekali ya, hehehe. Itu foto saya bersama istri saya sambil memegang buket bunga bersama. Fyi, kata orang-orang terdekat, saya itu kalau difoto nggak pernah senyum (baca: jarang, bukan nggak pernah, di beberapa kesempatan saya juga senyum kok, hehehe). Kenapa di foto itu saya senyum?
Karena waktu itu saya sedang bercanda dengan si istri waktu lagi foto, atau bahasa jawanya = guyon (bisa-bisanya). 

Daripada kaku di atas panggung kan, lagipula melelahkan sekali duduk di kwade itu, beneran. Saya harus mempertahankan posisi duduk dengan postur yang tegap selama berjam-jam tanpa bersandar (=senden). Otomatis lama-lama punggung ini rasanya kemeng, leher rasanya udah mau copot, perut rasanya begah (karena belum sarapan) liat para tamu mulai makan, sedangkan kita cuman bisa melihat mereka dari jauh, menahan air liur, kemudian menelannya kembali, ah.. rasanya. Ketika para tamu sudah mulai berdatangan, saat itulah waktu yang paling tepat untuk meregangkan otot-otot punggung yang mulai kaku/mulet (tentu saja mulet-nya yang agak berkelas dikit biar nggak keliatan, hahaha). Saya akui, orang-orang yang hobi nikah berkali-kali itu hebat, Anda memang luar biasa! (oke, yang ini memang agak berlebihan)
"Menikah itu butuh persiapan yang matang, terutama persiapan mental"
Saya akhirnya memutuskan untuk menikahi calon istri saya waktu itu pada saat saya masih segar berumur 23 tahun, lebih 2 hari. Ketika akhirnya sang Ayah (mertua pria) mengusulkan supaya kami segera menikah, saya sempat kepikiran selama berhari-hari. Apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya persiapkan? Saat itu saya masih berstatus Apoteker tanggung yang sedang PKL industri (sudah menyelesaikan pendidikan strata 1 dan sedang menjalani pendidikan profesi, nambah 1 tahun). Ya, saya masih di Cikarang dan masa-masa PKL sudah mendekati bulan terakhir yang artinya sebentar lagi kami akan kembali ke Surabaya, melakoni ujian akhir profesi, sumpah profesi, lalu kembali lagi ke Cikarang untuk menjalani debut saya sebagai Apoteker Penanggung Jawab yang dilindungi PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. *applause*

Setelah saya sudah sampai di rumah (Surabaya), saya masih berpikir bagaimana saya menyampaikan perihal pernikahan saya kepada Ibu. Sebelum melakukan perjalanan ke Barat mengambil kitab suci (baca= PKL ke Cikarang), Ibu sempat menawarkan kepada saya untuk melanjutkan kuliah magister mumpung ada duit. 
"Nak, kamu nggak kepingin ngelanjutin S2 tah? Mumpung Ibu ada duitnya"
Saya mengiyakan karena menurut saya nggak ada salahnya juga sekolah lagi, nambah ilmu, nambah bekal pengetahuan buat pekerjaan saya. Saya bimbang, galau, kalau duit buat sekolahnya terpakai buat nikah dulu, gimana? Hmmm. Setelah akhirnya saya dan Ibu berdiskusi mengenai hal ini, kami pun meminta pendapat kepada kakak tertua Ibu (Pakdhe) bagaimana win-win solution-nya. Dalam diskusi ini banyak hal yang dipertimbangkan. Bagaimana kelanjutan sekolah S2 saya. Bagaimana kondisi yang harus kami jalani nantinya saat kami bertempat tinggal di Cikarang, ratusan kilometer jauhnya dari rumah, dari orang tua kami yang selama ini menaungi kami. Bagaimana dengan pekerjaan kami (for your information, kami sudah sama-sama mulai bekerja pada saat sedang menjalani PKL).

Menurut saya, permasalahan yang complicated ini jalan keluarnya gampang, ya nikah aja. Pekerjaan sudah ada, check. Tempat tinggal, walaupun masih di kos-kosan ada, check. Duit ada, check (walaupun yang satu ini saya agak kurang setuju). Pekerjaan mendukung untuk disambi dengan sekolah, check. Umur sudah sama-sama matang, check. Tunggu apa lagi kan? Keburu calon istri disambet orang lain dan melihat dia menikah dengan pria lain, ogah! Dengan segala kemampuan yang kami miliki, kami akhirnya melangsungkan akad pada tanggal 17 Agustus 2014, resepsinya nyusul belakangan. Kok bisa gitu? Ya bisa-bisa aja, wong saya sama istri saya yang jalanin kok, hehehe. 

Alasan utama menunda resepsi adalah menabung dulu (padahal sebenarnya duit kondangan juga dari emak kami-kami juga, hahaha). Kebanyakan alasan utama menunda pernikahan adalah masalah di uang. Bagi sebagian orang yang hidup berkecukupan, mungkin ini bukan masalah yang berarti. Tapi, bagi sebagian orang, termasuk saya, nikah itu cukup berbekal niat, (untuk saya yang beragama Islam) ada mas kawin/mahar, ada saksi, ada wali mempelai wanita dan penghulu. Hal ini yang mendasari Ayah yang akhirnya menikahkan saya dan istri saya.
"Udah, yang penting niat dulu, ada mahar, ada saksi, wali sama penghulu, terus akad, udah. Acara rame-ramenya belakangan aja nanti. Dulu itu Ayah resepsi dengan Mama (mertua wanita) pas udah ada kamu (nunjuk ke istri, sambil tertawa khas)"
Saya sangat setuju dengan Ayah, tentu saja. Esensi dari menikah sebenarnya hanya itu saja. Kenapa yang kita temui kebanyakan menikah dirayakan di gedung yang bagus, acaranya dibuat sedemikian rupa dan para tamu undangan yang dijamu seperti tamu hotel? Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan kabar kepada khalayak luas bahwa, 
"Hei, kami sudah menikah sekarang, jadi kami sudah halal bersama-sama, jangan sebarkan fitnah yang buruk dan membuat nama baik kami tercemar." 
Mending kalau punya nama baik, lha kalau udah nggak punya nama baik, terus tercemar kan repot? Karena kalau saya bilang itu egonya orang tua, hal ini setengah benar, karena tidak selalu seperti itu yang terjadi. 

Alasan kedua adalah karena waktunya mepet dengan jadwal kami yang harus segera kembali ke Cikarang untuk memulai debut bekerja kami. Jadi sebenarnya, kami sudah bekerja bahkan sebelum masa PKL berakhir. Tapi kami ijin selama kurang lebih 2 bulan lebih 2 minggu untuk menyelesaikan ujian profesi, Sumpah Apoteker, sekalian menyelesaikan keperluan-keperluan lain supaya STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker), SKPA (Surat Kompetensi Profesi Apoteker) dan Ijazah Apoteker bisa diperoleh tepat waktu. Walaupun, well, hampir 6 bulan baru saya bisa megang bentuk fisiknya, setelah beberapa kali harus mondar-mandir Cikarang-Surabaya dengan waktu yang tidak bisa ditoleransi, karena masalah yang sebenarnya sepele. Kok bisa sepele? Hmm, lain waktu saja saya bahas, nanti nyambungnya malah kemana-mana, hehehe. Intinya STRA sudah cukup membuat hidup saya berwarna kala itu. 

Setelah kembali ke Cikarang, saya dan istri mulai babak baru kehidupan berumah tangga yang sarat emosi. Nggak ada ceritanya malam pertama, lha wong nggak lama setelah kami resmi sebagai suami-istri, langsung berangkat ke Cikarang dan keesokan harinya mulai kerja. Lagipula ngapain diceritain disini, hahaha. Sering ada yang bertanya, 
"Kenapa nggak cari kerja di Jawa Timur aja? Deketan sama orang tua, kalau ada apa-apa bisa gampang disamperin" 
Seringnya sih, saya jawab begini, 
"Lha wong keterima kerjanya di Cikarang, udah enak disini, kalau pulang ke Jatim harus resign dari sini dulu, nyebar lamaran ke seluruh penjuru Jatim, iya kalau langsung dapet, lha lek nganggur bojoku mangan opo? (kalau menganggur, istriku makan apa?)" 
Toh, setiap beberapa bulan sekali saya dan istri mengusahakan pulang ke Surabaya. Sudahlah, saya dan istri sudah nyaman berada disini, walaupun nggak nyaman ya dinyaman-nyamanin aja. Toh saya nggak sendirian, saya ditemani istri saya disini bersama kucing-kucing yang suka poop sembarangan di kasur itu di tengah kelamnya Cikarang.

Memang benar kalau Cikarang itu jauh sekali dari Surabaya. Kalau naik kereta bisa lebih dari 12 jam (sebelumnya naik bis selama 1-2 jam ke arah stasiun di Jakarta, biasanya Gambir/Pasar Senen). Kalau naik pesawat "hanya 1,5 jam" paling lama di pesawatnya, untuk menuju ke bandara biasanya naik bis yang menempuh perjalanan 4-5 jam, itupun kalau tidak macet di tol. Jauh memang. Kalau dibilang Bekasi itu luar planet, apalah Cikarang yang di luar sistem tata surya, bahkan luar galaksi, atau mungkin di dalam black holeBuat kami, jarak sejauh ini sudah terlampau biasa. Kami sudah menjalaninya selama hampir 3 tahun, mau-nggak mau ya akhirnya terbiasa. Mungkin bagi sebagian orang, cerita hidup pernikahan kami biasa saja kalau dibandingkan dengan pasangan-pasangan di luar sana yang harus pisah dari orang tua ribuan kilometer jauhnya. Nggak terima Cikarang-Surabaya, mungkin seperti Moskow-Surabaya? Bagi kami, jarak tidak berarti selama apa yang terpenting bagi kami, selalu tersimpan di hati. :) *wink* 
"Distance is nothing, what's matter is inside of your heart" 

Baca Juga Postingan istri saya di sini


Sumber & Link Terkait:

Sebagian besar adalah pengalaman pribadi penulis

http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2009/51tahun2009pp.htm

http://pratamatomy.blogspot.co.id/2016/10/cikarang-disayang-cikarang-dicerca.html

http://sidomi.com/329280/ini-alasan-kota-bekasi-heboh-di-media-sosial-fb-twitter-path/

No comments:

Post a Comment